Rabu, 11 Februari 2015

Latar Belakang Tari Legong

Latar belakang tari legong

Tidak pernah ada yang menjumpai kata (legong) dalam catatan-catatan kuno. Diduga kata legong berasal dari kata leg yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur yang merupakan ciri pokok tari Legong. Adapun gong yang berarti instrument pengiringnya artinya gamelan. Legong dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Salah satu bentuk tarian asli yang sangat tua umurnya adalah tari Sang Hyang yang merupakan media keagamaan yang sangat penting dan dipertunjukan dalam upacara keagamaan. Perbendaharaan geraknya berupa gerak-gerak peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan distilisasikan, yang kemudian dipakai dalam tari Legong. Dalam perkembangannya gerak-gerak tersebut diperindah dan disempurnakan wujudnya.

Legong yang kita ketahui sekarang merupakan percampuran dari elemen-elemen tari yang berbeda sekali jenisnya. Elemen tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Jawa yang dituangkan dalam bentuk tari klasik yang disebut Gambuh. Gambuh merupakan tipe drama tari yang berasal dari pra-Islam Jawa dan mungkin sudah dikenal di Bali sejak permulaan abad ke-15. Untuk Legong, cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah cerita Lasem yang bersumber dari cerita Panji. Elemen cerita bukan suatu hal yang paling menarik dalam tari Legong karena cara pendramaannya sangat sederhana dan abstrak. Kenyataannya orang tidak dapat mengerti tari Legong tanpa mendengarkan dialog dari juru tandak, penyanyi pria yang duduk di tengah-tengah gamelan.
Menurut Babad Dalem Sukawati, sebuah riwayat tua desa Sukawati, Gianyar, tari Legong diciptakan berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, raja Sukawati yang bertakhta pada 1775-1825 M. I Dewa Agung Made Karna sedang melakukan tapa di pura Jogan Agung Ketewel dekat desa Sukawati. Dalam semadinya beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di Surga. Mereka menari dengan busana indah dan memakai hiasan kepala dari emas.

Ketika sadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna memerintahkan kepeda Bendesa Ketewel (kepala desa) untuk membuat beberapa topeng dan menciptakan suatu tarian yang mirip dengan impiannya. Tidak lama setelah itu, Bendesa Ketewel berhasil membuat sembilan buah topengnya diragakan oleh dua orang penari Sang Hyang dan yang kini sudah memakai koreografi yang pasti diduga telah diciptakan waktu itu.

Beberapa lama setelah terciptanya Sang Hyang Legong, sebuah kelompok kesenian yang dipimpin I Gusti Jelantik dan Blahbatuh mempertunjukan tari Nandir yang gayanya hampir sama dengan tari Sang Hyang Legong, kecuali penari dua anak laki-laki yang tidak memakai topeng. I Dewa Agung Manggis segera memerintahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata tari Nadir agar dapat diperagakan oleh anak-anak perempuan. Sejaka saat itulah tari Legong Klasik diciptakan sampai sekarang.
Pada mulanya tari Legong merupakan kesenian feudal dari kaum triwangsa di Bali. Legong dalam inspirasi dan kreasinya sama dengan Gmabuh, yaitu suatu kesenian dari istana. Kesenian ini berkembang sesuai dengan pola kebangsawanan dan mendapat dorongan dari para raja zaman dahulu. Para petugas kerajaan memeriksa ke desa-desa untuk mendapatkan anak-anak perempuan yang berbakat untuk dilatih dan dijadikan penari Legong. Proses terjadinya tari Legong sudah merupakan konsep dalam seni pertunjukan yang mampu berkreasi terutama seniman-seniman, mengambil elemen dari kerakyatan yang dikembangkannya menjadi kesenian yang tinggi mutunya.

Sampai sejauh ini, belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya tari Legong diciptakan. I Gusti Gede Raka, seorang guru Legong dari desa Saba, mengatakan bahwa Legong telah dikenal di desanya sejak 1811 M. Ungkapan ini sesuai dengan Babad Dalem Sukawati.
Lakon yang biasa dipakai dalam Legong kebayakan bersumber pada:
  1. Cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem.
  2. Cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa).
  3. Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa).
  4. Kuntul (kisah burung).
  5. Sudarsana (semacam Calonarang)
  6. Palayon
  7. Chandrakanta dan lain sebagainya.
Jenis jenis tarian
TARI TRADISIONAL

Tari tradisional merupakan sebuah bentuk tarian yang sudah lama ada. Tarian ini diwariskan secara turun temurun. Sebuah tarian tradisional biasanya mengandung nilai filosofis, simbolis dan relegius. Semua aturan ragam gerak tari tradisional, formasi, busana, dan riasnya hingga kini tidak banyak berubah

Tarian diatas merupakan tarian tradisional yang terdapat di bali

TARI TRADISIONAL KLASIK

Tari tradisional klasik dikembangkan oleh para penari kalangan bangsawan istana. Aturan tarian biasanya baku atau tidak boleh diubah lagi. Gerakannya anggun dan busananya cenderung mewah. Fungsi : sebagai sarana upacara adat atau penyambutan tamu kehormatan. Contoh : Tari Topeng Kelana (Jawa Barat), Bedhaya Srimpi (Jawa Tengah), Sang Hyang (Bali), Pakarena dan pajaga (Sulawesi Selatan)

 
Tarian diatas merupakan tarian klasik yaitu tari topeng kelana

TARI TRADISIONAL KERAKYATAN

Berkembang di kalangan rakyat biasa. Gerakannya cenderung mudah Ditarikan bersama juga iringan musik. Busananya relatif sederhana. Sering ditarikan pada saat perayaan sebagai tari pergaulan. Contoh: Jaipongan (Jawa Barat), payung (Melayu), Lilin (Sumatera Barat)

Tarian diatas merupakan tarian jaipong daerah jawa barat

TARI KREASI BARU

Merupakan tarian yang lepas dari standar tari yang baku. Dirancang menurut kreasi penata tari sesuai dengan situasi kondisi dengan tetap memelihara nilai artistiknya. Tari kreasi baik sebagai penampilan utama maupun sebagai tarian latar hingga kini terus berkembang dengan iringan musik yang bervariasi, sehingga muncul istilah tari modern. .Pada garis besarnya tari kreasi dibedakan menjadi dua golongan yaitu:

1. Tari Kreasi Baru Berpolakan Tradisi
Yaitu tari kreasi yang garapannya dilandasi oleh kaidah-kaidah tari tradisi, baik dalam koreografi, musik/karawitan, rias dan busana, maupun tata teknik pentasnya. Walaupun ada pengembangan tidak menghilangkan esensiketradisiannya.

2. Tari Kreasi Baru Tidak Berpolakan Tradisi (Non Tradisi)
Tari Kreasi yang garapannya melepaskan diri dari pola-pola tradisi baik dalam hal koreografi, musik, rias dan busana, maupun tata teknik pentasnya. Walaupun tarian ini tidak menggunakan pola-pola tradisi, tidak berarti sama sekali tidak menggunakan unsur-unsur tari tradisi, mungkin saja masih menggunakannya tergantung pada konsep gagasan penggarapnya. Tarian ini disebut juga tari modern, yang istilahnya berasal dari kata Latin “modo” yang berarti baru saja.

 
Tari diatas merupakan tari kreasi baru

TARI KONTEMPORER

Gerakan tari kontemporer simbolik terkait dengan koreografi bercerita dengan gaya unik dan penuh penafsiran. Seringkali diperlukan wawasan khusus untuk menikmatinya. iringan yang dipakai juga banyak yang tidak lazim sebagai lagu dari yang sederhana hingga menggunakan program musik komputer seperti Flutyloops.

Tarian diatas merupakan tarian kontemporer
(http://www.kabarkami.com/etnik-kontemporer-di-societeit-de-harmonie-makassar.html)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar