Senin, 27 Februari 2017
Senin, 13 Februari 2017
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI
Kearifan Lokal
Bali
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan
(wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan
lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai
baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.beberapa contoh
kearifan local yang ada di bali yaitu:
1. Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang
didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan
adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat
keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar
tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan
terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah
lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan
dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan
menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana
warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang
kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh
warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan
kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan
kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang
menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya
berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
2.Subak
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan
mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama
dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para
penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan
yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup
dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak
sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh
beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri
dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
3.Sekaha
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada
organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah
sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat
sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau
upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan
tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada
juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan
atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam),
sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan
lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas
dari organisasi banjar maupun desa.
4. Gotong Royong
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali
dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet
di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah
tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya),
dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga,
atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya
dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas
dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong
antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik).
5. Menyamabraya
Masyarakat Bali, meskipun berasal dari
latar-belakang yang berbeda-beda, selalu merasa bersaudara. Bagi orang Bali
semua orang adalah ‘nyama’ (=saudara dekat). Sejauh-jauhnya mereka menggap
orang lain itu sebagai ‘braya’ (=saudara jauh). Sehingga secara keseluruhan,
bingkainya selalu persaudaraan.
6. Matilesang raga
Masyarakat Bali menjujung tinggi sebuah nilai yang
disebut ‘metilesang raga’ yang artinya, kurang lebih: bisa menempatkan diri,
sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan. Misalnya: ketika orang Hindu memiliki
hajatan dan dikunjungi oleh warga Islam, mereka tahu harus menghidangkan
makanan yang boleh dimakan oleh warga Islam.
7. Nawang lek
Nilai ‘nawang lek’ ini membuat masyarakat Bali cenderung
tidak berperilaku yang aneh-aneh, tidak neko-neko. Mereka merasa malu kalau
sampai bikin masalah, apalagi sampai ribut-ribut. Mereka malu mengambil sesuatu
yang bukan haknya. Mereka malu kalau tidak hadir ketika ada warga lain dalam
kesusahan. Mereka malu kalau tidak membantu tetangga yang sedang punya hajatan,
terlepas dari berbedaan latar belakang suku, agama, ras, dan yang lainnya.
Resources:
Langganan:
Postingan (Atom)