Senin, 13 Februari 2017

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI

Kearifan Lokal Bali
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.beberapa contoh kearifan local yang ada di bali yaitu:

Sistem Kemasyarakatan Orang Bali 

1. Banjar


Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.

2.Subak


Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.

3.Sekaha


Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.

4. Gotong Royong

Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik).

5. Menyamabraya


 Masyarakat Bali, meskipun berasal dari latar-belakang yang berbeda-beda, selalu merasa bersaudara. Bagi orang Bali semua orang adalah ‘nyama’ (=saudara dekat). Sejauh-jauhnya mereka menggap orang lain itu sebagai ‘braya’ (=saudara jauh). Sehingga secara keseluruhan, bingkainya selalu persaudaraan.

6. Matilesang raga

Masyarakat Bali menjujung tinggi sebuah nilai yang disebut ‘metilesang raga’ yang artinya, kurang lebih: bisa menempatkan diri, sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan. Misalnya: ketika orang Hindu memiliki hajatan dan dikunjungi oleh warga Islam, mereka tahu harus menghidangkan makanan yang boleh dimakan oleh warga Islam.

7. Nawang lek

Nilai ‘nawang lek’ ini membuat masyarakat Bali cenderung tidak berperilaku yang aneh-aneh, tidak neko-neko. Mereka merasa malu kalau sampai bikin masalah, apalagi sampai ribut-ribut. Mereka malu mengambil sesuatu yang bukan haknya. Mereka malu kalau tidak hadir ketika ada warga lain dalam kesusahan. Mereka malu kalau tidak membantu tetangga yang sedang punya hajatan, terlepas dari berbedaan latar belakang suku, agama, ras, dan yang lainnya.

Resources: