Selasa, 07 Maret 2017

Museum Le Mayeur


https://www.youtube.com/watch?v=tqQ2dJ-T57A

Museum Le Mayeur ini terletak ditepi pantai Sanur, berupa bangunan dengan arsitektur Bali yang menampung kurang lebih 88 buah lukisan yang dibagi menjadi lima jenis koleksi berdasarkan media yang dipakai, yaitu Bagor (22 lukisan), Hard Boeard (25 lukisan), Trilek (6 lukisan), Kertas (7 lukisan) dan Kanvas (28 lukisan). Sebagian besar tema lukisannya adalah wanita Bali dengan bertelanjang dada. Bahkan ada yang menyebut bahwa Le Mayeur adalah Gaugin-nya Indonesia. 
Tidak semua lukisan yang dipamerkan merupakan hasil karyanya selama sang pelukisanya tinggal di Bali, beberapa bahkan merupakan lukisan impresionis Le Mayeur setelah melakukan perjalanan dari Eropa, Afrika, India, Italia dan Perancis sebelum tiba di Bali. Tengok saja beberapa diantara-nya “Canal of Gindecca”, “Early Morning in the Harbour of Marseille”, “Istambul (Turkey)”, “Jaipur, India”. Dua lukisan terakhir dibuat tahun 1929.
Museum yang dinamakan sesuai dengan nama pelukisnya Adrien Jean Le Mayeur de Merpres (1880-1958) adalah pria berkebangsaan Belgia yang konon juga merupakan keturunan keluarga bangsawan. Le Mayeur menginjakkan kaki di Bali pada tahun 1932 di usia-nya yang ke 52. Rencana awalnya adalah tinggal di Bali selama 8 bulan saja sekedar untuk menggali ide dan insipirasi dalam berkarya. Le Mayeur bertemu dengan seorang gadis Bali belia bernama Ni Pollok, penari Legong yang berasal dari Desa Kelandis yang kala itu masih berusia 17 tahun (beberapa cerita bahkan menyebutkan usia Ni Pollok adalah 15 tahun waktu mereka bertemu).

 Setelah menjadi model lukisannya selama kurang lebih 2 tahun mereka akhirnya menikah dan Le Mayeur memutuskan untuk membangun tempat tinggal di tepi pantai Sanur yang waktu itu masih merupakan desa nelayan yang sunyi. Ni Pollok-pun diajarinya membaca dan menulis dan ditempa menjadi wanita Bali yang mandiri. Rencana awal untuk tinggal selama 8 bulan saja akhirnya menjadi 26 tahun.
Anda bisa melihat banyak lukisan yang menjadikan Ni Polok sebagai model tunggalnya, sebut saja “Pollok” yang dibuat tahun 1957 diatas kanvas 75x90cm, warnanya sangat indah dan berani. Lain lagi adalah “Disekitar rumah Pollok” (1957, kanvas 75x90cm) atau “Memetik Bunga untuk sembahyang / Picking flowers” (1957, 100x120cm). Konon beberapa cerita menyebutkan selama menjadi modelnya Ni Pollok harus rela berjemur selama berjam-jam dalam kondisi cuaca yang panas tanpa boleh menggerakkan anggota tubuhnya apalagi mengeluh, padahal beberapa lukisannya dilakukan dalam keadaan bertelanjang dada. Tidak semua lukisan dibuat dengan cat minyak, ada pula yang dibuat dengan cat air dan pensil pada kanvas dan tikar jerami yang halus. Mungkin pelukisnya ingin menunjukkan masa-masa dimana kanvas juga sulit untuk diperoleh, terutama pada saat pendudukan Jepang.
Hasil lukisan yang menggunakan Ni Pollok sebagai modelnya sempat dipamerkan di Singapura dan menuai sukses pada kala itu. Selain sebagai pelukis, Le Mayuer juga pandai menarik minat pembelinya. Setelah melukis seharian pada pagi dan siang hari, malam harinya ia mengadakan beberapa pertunjukan tari-tarian untuk menarik minat pembelinya. Itu sebabnya ada bagian rumah berupa pendopo yang dijadikan tempat menerima tamu dan bersosialisasi dengan pembeli, seniman lokal atau kunjungan dari kawan dan sanak saudara. Tak dipungkiri tahun-tahunnya menetap di Bali merupakan tahun yang paling produktif dalam hidup Le Mayeur. Dikabarkan ia sempat memberikan donasi untuk Perancis, Belgia dan Inggris setelah ketiga negara itu mengalami kebangkrutan akibat perang yang berkepanjangan di tahun 1941.

Pada tanggal tahun 1958 Le Mayeur terpaksa kembali ke Belgia untuk mendapatkan perawatan terhadap kanker yang dideritanya, dia meninggal pada tanggal 31 Maret tahun yang sama disana. Setelah itu Ni Pollok mengelola museum itu seorang diri. Karena mereka tidak memiliki keturunan dan ahli waris, sepeninggal Ni Pollok museum ini diserahkan kepada pemerintah untuk mengelola. Tiket masuk domestik sebesar Rp 2000 (dewasa) dan Rp 1000 (anak-anak) akan dikenakan pada anda. Untuk turis asing tiket masuk dewasanya adalah Rp 5000 dan Rp 2500 untuk anak-anak. Museum ini buka pada pukul 8.00-14.00 (Senin-Kamis), 8.00-11.00 (Jumat) dan 8.00-12.30 (Sabtu).
Sangat disayangkan karena kondisi museum tidak terlalu terjaga. Konon pemerintah Belgia pernah memberikan donasi ribuan USD untuk membantu perawatan museum ini. Pencahayaan yang kurang, tidak nampak tour guide ketika ada pengunjung datang, debu di beberapa furnitur tua dan penataan dari lukisan-lukisan yang dipasang adalah beberapa hal yang bisa diperbaiki dari pengelolaan museum ini.
Bagi bukan penikmat lukisan anda tidak perlu kuatir karena bentuk bangunan yang berarsitektur Bali asli juga layak untuk dinikmati, selain itu museum ini penuh dengan koleksi pemiliknya berupa buku-buku tua, furnitur Bali dan beberapa ukiran lainnya. Ada pula toko souvenir kecil disamping bangunan utama bagi anda yang ingin sekedar membeli kenang-kenangan berupa kartu pos dan barang lainnya. Anda tidak diijinkan untuk mengambil gambar lukisan-lukisan didalam museum karena dikuatirkan akan merusak lukisan itu sendiri. Museum ini cocok sekali sebagai sarana wisata keluarga.


Senin, 13 Februari 2017

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI

Kearifan Lokal Bali
Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.beberapa contoh kearifan local yang ada di bali yaitu:

Sistem Kemasyarakatan Orang Bali 

1. Banjar


Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.

2.Subak


Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.

3.Sekaha


Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.

4. Gotong Royong

Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik).

5. Menyamabraya


 Masyarakat Bali, meskipun berasal dari latar-belakang yang berbeda-beda, selalu merasa bersaudara. Bagi orang Bali semua orang adalah ‘nyama’ (=saudara dekat). Sejauh-jauhnya mereka menggap orang lain itu sebagai ‘braya’ (=saudara jauh). Sehingga secara keseluruhan, bingkainya selalu persaudaraan.

6. Matilesang raga

Masyarakat Bali menjujung tinggi sebuah nilai yang disebut ‘metilesang raga’ yang artinya, kurang lebih: bisa menempatkan diri, sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan. Misalnya: ketika orang Hindu memiliki hajatan dan dikunjungi oleh warga Islam, mereka tahu harus menghidangkan makanan yang boleh dimakan oleh warga Islam.

7. Nawang lek

Nilai ‘nawang lek’ ini membuat masyarakat Bali cenderung tidak berperilaku yang aneh-aneh, tidak neko-neko. Mereka merasa malu kalau sampai bikin masalah, apalagi sampai ribut-ribut. Mereka malu mengambil sesuatu yang bukan haknya. Mereka malu kalau tidak hadir ketika ada warga lain dalam kesusahan. Mereka malu kalau tidak membantu tetangga yang sedang punya hajatan, terlepas dari berbedaan latar belakang suku, agama, ras, dan yang lainnya.

Resources: